Selasa, 22 Desember 2009

sebuah apresiasi: "Burlian" tak seindah "rembulan tenggelam di wajahmu"

Seandainya saja tidak mengenal Tere Liye dari “rembulan tenggelam diwajahmu”, “hafalan sholat Delisa”, “bidadari-bidadari surga” dan “moga bunda disayang Allah”, maka aku tidak akan mengambil “Burlian” dari deretan novel yang ada di rak salah satu toko buku yang kukunjungi. Terus terang, warna dan gambar sampul buku terbaru Tere-Liye ini tidaklah semenarik buku-buku sebelumnya. Warna biru muda dengan gambar kapal dalam bentuk siluet terkesan hambar dan “tidak menggugah selera”-ku untuk melahap novel tersebut. Tapi sebagai pembaca yang sudah “paham” karya Tere Liye tetap ada keinginan yang menggebu-gebu untuk memiliki buku itu.

Tak sabar hati untuk membaca saat novel itu sudah ada dalam genggaman. Ada harapan yang terbangun dalam hati untuk mendapatkan satu hal atau banyak hal ketika membacanya. Aku pastikan bahwa aku akan menemui berbagai kejutan dari buku itu, seperti buku-buku sebelumnya.

Halaman demi halaman terlangkahi tapi tidak ada gairah yang berlebihan untuk menyelesaikannya. Ada jeda yang harus aku ambil saat aku berada pada bagian-bagian tertentu karena tidak tahan dengan rasa bosan yang menyergap. Keadaan itu rata-rata kutemui pada bagian awal. Namun aku tidak menyerah, sekali lagi, dengan berlandaskan pada keyakinan bahwa “ini Tere Liye dan tidak mungkin gagal”, kupaksakan untuk membacanya hingga selesai. Akhirnya, dalam waktu tiga hari novel itu selesai kubaca, waktu yang cukup lama untuk novel yang tidak terlalu tebal, hanya 340 halaman.

Akhirnya aku harus realistis. Secara keseluruhan harus aku katakan, “ini tidak sebaik dan sebagus yang sebelum-sebelumnya”. Kecewa?, mau tidak mau memang harus aku akui bahwa aku kecewa. Perjuangan Burlian, kenakalannya, karakter, harapan dan impiannya seolah kurang “greget” dimataku, datar. Meskipun selalu ada sentuhan pelajaran dan hikmah dalam setiap perjalanan kisahnya, namun tidak ada yang terlalu istimewa, tidak ada yang special. Kekhawatiranku, aku takut menjadi kehilangan semangat “mencermati” novel ini, seperti yang biasanya lakukan untuk karya-karya Tere Liye, sehingga aku tidak mampu menilai dengan seimbang point lain yang menjadi keunggulan novel ini.

Tema pendidikan, persahabatan, impian, harapan dan semangat yang pantang menyerah memang sedang menjadi favorit para penulis. Tidak heran, karena Andrea Hirata, sang penulis “Laskar Pelangi” mengalami sukses yang bertubi-tubi dengan tema itu. Agaknya Tere Liye sedikit terpengaruh dengan kesuksesan itu karena kemudian memilih tema yang sama. Padahal menurutku, selama ini, dalam setiap karyanya, Tere selalu punya originalitas tema.

Sekarang, mari kita lihat Burlian.

Dikisahkan, Burlian adalah anak seorang petani yang dianggap “special” oleh orang tuanya, dianggap “berbeda semenjak lahir”. Cerita diawali dengan keberanian yang dilakukan mamak (ibu) Burlian mengusir burung yang meratap pada pohon Bungur raksasa di kawasan pekuburan. Konon kabarnya, suara ratapan burung itu adalah isyarat bahwa esok hari akan ada seseorang yang meninggal dunia. Mamak Burlian yang tidak tahan dengan ratapan itu berusaha mengusir burung tersebut dalam keadaan hamil besar, dengan Burlian dalam kandungannya. Esok harinya, Burlian lahir dan cerita mengusir burung itu seolah menjadi penanda “keistimewaan” Burlian.

Cerita berlanjut dengan kisah masa kecil Burlian yang penuh dengan berbagai romatika kehidupan kampung. Mulai dari rasa ingin tahu Burlian tentang proses eksplorasi pertambangan yang ada dikampungnya, pengalaman nakal saat bermain senapan angin hingga kejadian yang mengenaskan saat hendak dimakan buaya ketika bermain di sebuah sungai “larangan” yang dianggap keramat. Ada juga cerita Burlian dan teman-temannya yang terjadi dalam balutan berbagai kejadian sehari-hari nan sederhana. Selain itu juga ada kisah tentang mudharatnya kupon SDSB yang beredar di kampung Burlian hingga membawa-bawa Burlian terlibat didalamnya. Burlian dimarahi orang tuanya karena melanggar dua pantangan utama dalam hidup yaitu mencuri dan berjudi.

Kisah-kisah inilah yang kemudian menjadi menarik untuk disoroti. Semua kisah itu terangkum dalam 24 bab. Tidak ada tautan yang berarti pada masing-masing bab, terutama pada bab 1-4. Bab-bab awal itu hanya berpendar pada deskripsi tentang Burlian dan tanah kelahirannya. Namun setelah berada pada bab 5, ada bab-bab yang memang saling terkait satu sama lain. Misalnya, ada kisah yang berlanjut dalam bab 5-7, kemudian pada bab 12 dan 13, bab 14 dan 15, bab 16 dan 17, demikian seterusnya untuk dua bab yang berturut-turut. Semua itu mengingatka pada gaya berkisah dan pembagian bab tetraloginya Andrea Hirata. Ini agak sedikit menggangguku, karena seperti yang aku katakan sebelumnya bahwa Tere Liye pada karya terdahulu punya sesuatu yang sangat kuat, ada originalitas gaya bercerita, pemenggalan kisah serta pertauatan diantaranya, namun tidak kali ini. Aku merasa “dejavu” pada saat membaca novel ini.

Begitu juga dengan kedalaman kisah (entah isti lah ini benar atau tidak), atau apa yang aku sebut sebagai “kesan”. Jujur, tidak aku temui sesuatu yang terlalu special. Sekali lagi, dugaanku semua ini karena tema yang dipilih Tere adalah tema yang sangat “happening” saat ini. Tere mengisahkan perjuangan, pendidikan dan persahabatan serta semangat pantang menyerah dalam latar di sebuah desa dan keadaan yang serba sederhana. Jauh sebelum ini, Andrea sudah lebih dulu berhasil memaparkannya. Akan lebih “manis” bila ia memilih latar yang berbeda, misalnya seperti yang baru saja aku baca dalam “negeri 5 menara”. Novel ini memiliki tema yang sama dengan latar kisah pada sebuah pesantren yang kemudian menjadikannya istimewa. Meskipun tidak terlalu dramatis tapi aku suka idenya. Balutan “kerja keras untuk mewujudkan mimpi, pendidikan, kesetiakawanan, idealisme, motivasi dan optimisme” enam orang santri dari latar belakang yang berbeda memunculkan pemahaman yang lain tentang tema yang sama. Disinilah kemudian “Burlian” menjadi kurang istimewa. Bagi mereka yang sudah membaca atau bahkan menonton “Laskar Pelangi” dijamin akan merasakan perulangan dalam waktu dan nama yang berbeda.

Namun bukan berarti tidak ada keunggulan dari novel ini. Selalu ada hikmah yang menjadi ciri khas Tere Liye di balik kisah-kisahnya, meskipun sekali lagi, dengan berat hati harus aku katakan bahwa ini hanya perulangan dalam bentuk yang berbeda. Ada pelajaran berharga dalam setiap cerita, misalnya bagaimana mamak memberikan hukuman pada Burlian dan kak Pukat (kakaknya Burlian) ketika ketahuan bolos sekolah. Atau ada hikmah yang dalam saat mang Unus membawa Burlian dan kak Pukat memasuki hutan, menyeberangi sungai dan melihat apa yang mereka sebut sebagai “kebijakan leluhur kampung”, sesuatu yang sudah sangat terancam keberadaannya di negeri ini. Hingga hikmah pada sebuah kisah yang cukup dramatis saat gedung sekolah Burlian roboh dan menyebabkan dua orang temannya meninggal dunia. Burlian menjadi pahlawan dalam kejadian itu karena berani berbicara di depan kamera dan meminta kepada mentri untuk membangun kembali sekolah mereka dan menjadikan pak Bin, guru mereka yang masih honorer menjadi pegawai negeri sipil. Pada bagian ini ada konflik yang cukup berarti, paling tidak sedikit mengobati kebosanan yang terjadi pada awal cerita. Pada bagian ini, ada airmata yang jatuh tanpa sadar saat membaca rasa marah, kesal dan harapan untuk lebih baik yang dipaparkan Tere Liye sama seperti saat membaca “rembulan tenggelam di wajahmu”.

Satu yang paling penting menurutku “selalu suka dengan endingnya Tere Liye!”. Tidak ada akhir yang muluk-muluk seperti kisah cinderela dan sejenisnya, tapi hanya suguhan keadaan yang menunjukkan adanya “siratan” keberhasilan. Tidak ada kondisi “hidup bahagia selamanya” tapi pembaca disuruh sendiri menafsirkan sesukanya. Pada bagian akhir aku menemukan jawaban atas “keistimewaan” Burlian. “keistimewaan” itu bukan karena pohon bungur raksasa atau ratapan burung yang mengiringi kelahirannya, tapi “keistimewaan” itu ada karena cara mendidik mamak dan bapak Burlian. “Labeling”, mungkin itu tepatnya, Burlian dibesarkan dengan label “kamu istimewa”, “kamu berbeda” maka ia pun tumbuh seperti itu, sama seperti “kamu berani” yang dilekatkan pada ayuk Elli, atau “kamu anak yang pintar” pada kak Pukat. Sebuah pembiasaan yang dilakukan mamak dan bapak Burlian pada anak-anaknya untuk membentuk percaya diri mereka dan menjadi pegangan penting saat hidup terbentur pada masalah. Filosofi yang hebat.

Akhirnya, kisah Burlian selesai saat ia berada di Tokyo atas “jalan” yang diberikan seorang sahabat yang pernah datang dan membangun kampungnya. Apa dan bagaimana dia ada disana, silahkan baca sendiri bukunya. Saat baca catatan Tere Liye di Facebook, ia mengutip sebuah dialog yang akan hadir dalam sekuelnya, kita tunggu saja. Semoga akan ada kejutan yang lebih hebat dan “berkesan”.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

saya tak sedetail anda dalam mengupas sebuah novel. Tapi saya hampir membaca semua novel karya Tere, tidak semuanya menarik memang. Tapi aku suka dengan Burlian.

NB: Aku juga sangat suka dengan kisah "rembulan tenggelam di wajahmu"
(buku Tere pertama yang aku baca, dan membuatku jatuh cinta)

pinkz.. mengatakan...

makasii iia, =)