Kawan pernahkah menerima surat Cinta dari Kekasih? atau Surat dari orang yang kita “kecengin” ,yang kita rindu karena berpisah begitu lama. Bagaimana rasanya ketika kata demi kata kita baca. Ketika surat itu berisi kata-kata rindu, tentu hati bisa berdebar, pikiran melayang, hati berbunga-bunga. Bahkan tidurpun tersenyum, ^_^
Namun ketika surat-surat itu berisi teguran, rasa kecewa, apalagi marah. Hati benar-benar gelisah, khawatir. Akankah cinta menjadi malapetaka. Akankah sang kekasih akan putuskan cinta. Tidurpun gelisah tidak nyaman.
Begitulah yang Rosulullah rasakan. Al Quran telah membuat beliau gemetar, gelisah, basah dengan keringat di saat ayat-ayat-Nya turun. Namun disaat lain beliau tersenyum, bangga dikala mendengar kabar gembira buat diri dan ummatnya. Al Quran begitu memenuhi hati dan pikiran beliau. Sehingga secara luar biasa, merubah cara berpikir tentang Tuhan (tauhid), cara hidup, cara berperilaku, akhlak mulia. Hanya cukup 23 tahun berinteraksi dengan Al Quran, tidak hanya diri yang berubah, bahkan jazirah Arab yang tidak diperhitungkan saat itu dan dunia sampai sekarangpun bisa merasakan dampak perubahannya.
Sudahkah kita merasakan apa yang Rosulullah Rasakan? Sudahkan kita melihat Al Quran sebagai surat cinta, bukan hanya kepada Rosulullah, tapi kepada diri kita? Atau kita ketika membaca Al Quran, masih seperti membaca surat cinta kepada Rosulullah… bukan surat cinta kepada kita langsung. Seperti layaknya kita membaca surat cinta buat teman kita. Mari kita coba selami.
Andaikan surat cinta ini dari Aminah kepada Amir kawan kita. Akankah kita rasakan debaran, gelisah, sebagaimana yang dirasakan Amir atau Aminah?
“Abang Amir, saya sedih ketika melepas kepergian abang di dermaga tadi”
Adakah kita merasakan suasana batin mereka, atau keterharuan yang dirasakan Amir ketika membaca surat dari Aminah tadi. Mungkin iya, mungkin tidak. Malah bisa jadi kita akan menertawakan surat cinta mereka yang “sok romantis” “sok sedih” atau bahkan lebih buruk lagi “peduli amat, ini jelas bukan buat saya, I don’t care”….
Nah sekarang, Bayangkan jika “Abang Amir” di atas diganti dengan nama kita (mangga’ diganti dengan nama masing-masing yaa dan diresapi)
“Mas Hadi, saya sedih ketika melepas kepergian Mas di dermaga tadi”
Wah jadi terharu,hehe….
Entah sudah berapa tahun kitab yang satu ini selalu nampak di kamar, di ruang belajar, di lemari buku, di musholla, dan tempat-tempat dimana Saya biasa meletakkannya. Ntah berapa kali kitab yang disucikan ini dibaca dan hatam. Namun saya tidak yakin, tuntunannya sudah cukup merubah cara hidup saya, sebagaimana merubah cara hidup Rosulullah dan sahabat-sahabatnya. Ya Al Quran turunnya telah membuat Rosulullah menggigil dan berubah.
Cukup 5 ayat surah Al Alaq, beliau merasa gelisah, gemetar, menggigil kedinginan sehingga membuat istrinya memberikan selimut, menenangkan bahkan menanyakan perihal “kejadian” ini kepada Waraqah, anak paman Khadijah, yang seorang pendeta Nasrani. Bisa dibayangkan tekanan batin yang beliau rasakan sehingga terpikir untuk menerjunkan diri dari bukit (bunuh diri). Apalagi pada saat wahyu terputus. Bingung, gelisah, dan bertanya-tanya “is that real”, “am I a Rosulullah?”, “bagaimana saya menghadapi kaumku? Akankah mereka menertawakanku tentang kejadian ini?”. Begitu pula saat wahyu kedua turun (Al Mudatsir) yang mengingatkan beliau untuk bangkit dari selimut dan berilah peringatan.
“Hai orang yang berkemul, bangunlah lalu berilah peringatan, dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah.” (Al Muddatstsir: 1-7).
Sungguh ini merupakan perkataan yang besar dan menakutkan, yang membuat Beliau melompat dari tempat tidurnya yang nyaman di rumah penuh kedamaian, siap terjun ke kancah, di antara arus dan gelombang, antara yang keras dan yang menarik menurut perasaan manusia. terjun ke kancah kehidupan (dikutip dari Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfurry, Sirah Nabawiyah).
Namun sayangnya, dahsyat-nya perasaan yang dialami Rosulullah, belum saya rasakan. Mungkin saya masih menganggap Al Quran ini buat Rosulullah. Bukan buat saya. Padahal sungguh, di pikiranku, saya yakin Al Quran ini buat seluruh manusia, bukan hanya Rosulullah. Kabar gembiranya adalah kabar gembira bagi manusia yang beriman. Peringatan dan ancamannya buat ummat manusia. Tuntunannya buat kita. Lalu mengapa tidak ada pengaruh ya? Mungkin cara pandang dan interaksi saya selama ini salah terhadap Al Quran.
Ah… surat ini ternyata bukan hanya untuk Rosulullah. Surat Al Muddatstsir itu pun, bisa menjadi surat cinta dari Allah untukku, untukmu juga.
7 ayat yang agung, sarat dengan tausyiyah meminta saya untuk BANGKIT, BERDAKWAH, TAKBIR, BERSIH2 Jasmani, HINDARI DOSA (bersih2 ruhani), IKHLAS (Menghindari PAMRIH/RIBA), dan SABAR. Entah butuh waktu berapa lama saya bisa merasakan besarnya cinta Allah sampai menurunkan 7 keywords di atas. Entah butuh berapa lama bisa memahami dan mengamalkannya. Pasti Allah marah kalau ada kata yang terlewat, apalagi abai atas surat cintanya. Pasti Allah tidak suka kalau saya hanya pasif, tidak pernah menyampaikan ayat-ayat-Nya. Pasti Allah tahu betapa sedikitnya dzikir diucapkan. Betapa parahnya pamrih yang kadang melintas dihati saya. Ini pertanda sikap ikhlas hanya karena Allah belumlah terpatri di hati. Lalu buat siapa selama ini saya berbuat? Saya hanya ingin minta maaf, semoga Allah tidak murka dan memutuskan cinta-Nya. Nauzubillahi min dzalik.
Ya Rabb, izinkanlah Aku membaca surat-surat cintamu yang belum terbalaskan.
dari Blog seorang teman ^_^
Namun ketika surat-surat itu berisi teguran, rasa kecewa, apalagi marah. Hati benar-benar gelisah, khawatir. Akankah cinta menjadi malapetaka. Akankah sang kekasih akan putuskan cinta. Tidurpun gelisah tidak nyaman.
Begitulah yang Rosulullah rasakan. Al Quran telah membuat beliau gemetar, gelisah, basah dengan keringat di saat ayat-ayat-Nya turun. Namun disaat lain beliau tersenyum, bangga dikala mendengar kabar gembira buat diri dan ummatnya. Al Quran begitu memenuhi hati dan pikiran beliau. Sehingga secara luar biasa, merubah cara berpikir tentang Tuhan (tauhid), cara hidup, cara berperilaku, akhlak mulia. Hanya cukup 23 tahun berinteraksi dengan Al Quran, tidak hanya diri yang berubah, bahkan jazirah Arab yang tidak diperhitungkan saat itu dan dunia sampai sekarangpun bisa merasakan dampak perubahannya.
Sudahkah kita merasakan apa yang Rosulullah Rasakan? Sudahkan kita melihat Al Quran sebagai surat cinta, bukan hanya kepada Rosulullah, tapi kepada diri kita? Atau kita ketika membaca Al Quran, masih seperti membaca surat cinta kepada Rosulullah… bukan surat cinta kepada kita langsung. Seperti layaknya kita membaca surat cinta buat teman kita. Mari kita coba selami.
Andaikan surat cinta ini dari Aminah kepada Amir kawan kita. Akankah kita rasakan debaran, gelisah, sebagaimana yang dirasakan Amir atau Aminah?
“Abang Amir, saya sedih ketika melepas kepergian abang di dermaga tadi”
Adakah kita merasakan suasana batin mereka, atau keterharuan yang dirasakan Amir ketika membaca surat dari Aminah tadi. Mungkin iya, mungkin tidak. Malah bisa jadi kita akan menertawakan surat cinta mereka yang “sok romantis” “sok sedih” atau bahkan lebih buruk lagi “peduli amat, ini jelas bukan buat saya, I don’t care”….
Nah sekarang, Bayangkan jika “Abang Amir” di atas diganti dengan nama kita (mangga’ diganti dengan nama masing-masing yaa dan diresapi)
“Mas Hadi, saya sedih ketika melepas kepergian Mas di dermaga tadi”
Wah jadi terharu,hehe….
Entah sudah berapa tahun kitab yang satu ini selalu nampak di kamar, di ruang belajar, di lemari buku, di musholla, dan tempat-tempat dimana Saya biasa meletakkannya. Ntah berapa kali kitab yang disucikan ini dibaca dan hatam. Namun saya tidak yakin, tuntunannya sudah cukup merubah cara hidup saya, sebagaimana merubah cara hidup Rosulullah dan sahabat-sahabatnya. Ya Al Quran turunnya telah membuat Rosulullah menggigil dan berubah.
Cukup 5 ayat surah Al Alaq, beliau merasa gelisah, gemetar, menggigil kedinginan sehingga membuat istrinya memberikan selimut, menenangkan bahkan menanyakan perihal “kejadian” ini kepada Waraqah, anak paman Khadijah, yang seorang pendeta Nasrani. Bisa dibayangkan tekanan batin yang beliau rasakan sehingga terpikir untuk menerjunkan diri dari bukit (bunuh diri). Apalagi pada saat wahyu terputus. Bingung, gelisah, dan bertanya-tanya “is that real”, “am I a Rosulullah?”, “bagaimana saya menghadapi kaumku? Akankah mereka menertawakanku tentang kejadian ini?”. Begitu pula saat wahyu kedua turun (Al Mudatsir) yang mengingatkan beliau untuk bangkit dari selimut dan berilah peringatan.
“Hai orang yang berkemul, bangunlah lalu berilah peringatan, dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah.” (Al Muddatstsir: 1-7).
Sungguh ini merupakan perkataan yang besar dan menakutkan, yang membuat Beliau melompat dari tempat tidurnya yang nyaman di rumah penuh kedamaian, siap terjun ke kancah, di antara arus dan gelombang, antara yang keras dan yang menarik menurut perasaan manusia. terjun ke kancah kehidupan (dikutip dari Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfurry, Sirah Nabawiyah).
Namun sayangnya, dahsyat-nya perasaan yang dialami Rosulullah, belum saya rasakan. Mungkin saya masih menganggap Al Quran ini buat Rosulullah. Bukan buat saya. Padahal sungguh, di pikiranku, saya yakin Al Quran ini buat seluruh manusia, bukan hanya Rosulullah. Kabar gembiranya adalah kabar gembira bagi manusia yang beriman. Peringatan dan ancamannya buat ummat manusia. Tuntunannya buat kita. Lalu mengapa tidak ada pengaruh ya? Mungkin cara pandang dan interaksi saya selama ini salah terhadap Al Quran.
Ah… surat ini ternyata bukan hanya untuk Rosulullah. Surat Al Muddatstsir itu pun, bisa menjadi surat cinta dari Allah untukku, untukmu juga.
7 ayat yang agung, sarat dengan tausyiyah meminta saya untuk BANGKIT, BERDAKWAH, TAKBIR, BERSIH2 Jasmani, HINDARI DOSA (bersih2 ruhani), IKHLAS (Menghindari PAMRIH/RIBA), dan SABAR. Entah butuh waktu berapa lama saya bisa merasakan besarnya cinta Allah sampai menurunkan 7 keywords di atas. Entah butuh berapa lama bisa memahami dan mengamalkannya. Pasti Allah marah kalau ada kata yang terlewat, apalagi abai atas surat cintanya. Pasti Allah tidak suka kalau saya hanya pasif, tidak pernah menyampaikan ayat-ayat-Nya. Pasti Allah tahu betapa sedikitnya dzikir diucapkan. Betapa parahnya pamrih yang kadang melintas dihati saya. Ini pertanda sikap ikhlas hanya karena Allah belumlah terpatri di hati. Lalu buat siapa selama ini saya berbuat? Saya hanya ingin minta maaf, semoga Allah tidak murka dan memutuskan cinta-Nya. Nauzubillahi min dzalik.
Ya Rabb, izinkanlah Aku membaca surat-surat cintamu yang belum terbalaskan.
dari Blog seorang teman ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar